Gula Lokal Kalah Bersaing di Pasaran, Petani Tebu Tebus Ongkos Industri Yang Tinggi - METRO JATIM

Breaking

Post Top Ad

Pasang Iklan Disini

Post Top Ad

Pasang Iklan Disini

Sabtu, 13 Februari 2021

Gula Lokal Kalah Bersaing di Pasaran, Petani Tebu Tebus Ongkos Industri Yang Tinggi


Malang, Metro Jatim;

Gula impor yang memiliki tampilan fisik yang menarik ternyata harganyapun juga menarik pelaku pasar. "Memang gula rafinasi diperuntukkan sebagai bahan mamin (makan minum), namun peredarannya diatur oleh peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 01 Tahun 2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi (GKR). Permendag tersebut merupakan penyempurnaan dari Permendag Nomor 74 Tahun 2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi," jelas Ketua Umum PKPTR (Pusat Koperasi Primer Tebu Rakyat), K.H. Hamim Kholili.


Aturan tersebut menyentuh mekanisme distribusi. "GKR hanya dapat diperdagangkan oleh produsen GKR kepada industri pengguna sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi dan dilakukan melalui kontrak kerja sama serta dilarang diperdagangkan di pasar eceran. Produsen GKR juga dilarang menjual GKR kepada distributor, pedagang pengecer, dan/atau konsumen," paparnya 


Namun demikian gula lokal saat ini justru kalah bersaing dengan gula impor di pasaran, tak terbeli dan mengendap di gudang. "Sudah ada aturan distribusinya terkait gula rafinasi , tapi juga harus di pantau peredarannya di pasaran, jangan sampai produk yang di peruntukkan untuk menopang keberlangsungan industri makanan dan minuman yang memang harganya jauh lebih murah bersaing dengan gula lokal dari pertanian tebu rakyat," tegasnya.


Gula rafinasi diimpor dari negara dengan pertanian yang sudah maju serta didukung teknologi pengolahan pertanian yang modern  sehingga ongkos produksi mampu ditekan. "Tentu saja berbeda dengan pertanian tebu lokal kita, saat ini masih di dominasi pengerjaan secara tradisional dengan melibatkan tenaga manusia, sehingga ongkosnya pun juga mengikuti kebutuhan pokok para pekerja," imbuh sosok yang saat ini juga pengasuh salah satu ponpes ternama di Malang itu.


Harga eceran tetinggi (HET) menjadi salah satu penyebab harga gula lokal tidak sesuai dengan yang diharapkan. Harga Eceran Tertinggi (HET) bahan pokok (bapok) terutama gula pasir pada tingkat petani sebesar Rp 9.100 per kg. Sementara HET di tingkat konsumen sebesar Rp 12.500 per kg dianggap tidak memihak industri gula lokal.


"Biaya produksi gula saat ini sudah lebih dari harga patokan petani (HPP) gula yaitu Rp 14.000 per kg. Sementara dalam aturan harga di tingkat petani diatur Rp 9.100 per kg dan di tingkat konsumen sebesar Rp12.500 per kg. Usulan tersebut karena adanya penyesuaian kenaikan biaya produksi dan kenaikan harga berbagai komoditas akibat dampak situasi pandemi virus Covid-19," terangnya.


Dengan biaya produksi diatas Harga Patokan Petani (HPP) menjadi ketentuan yang sulit untuk diikuti, kelangsungan industri gula lokal bersama petani tebu akan terpuruk .


"HET diharapkan 14.000 minimal 13.500, dengan demikian masih ada ruang bagi kami untuk bertahan," ungkapnya saat di hubungi via WA, 12 Februari 2021.


Beliau juga berharap hal tersebut bisa merangsang petani tebu menuju swasembada gula .

 

[DjoniUR/giar]

Post Top Ad

Pasang Iklan Disini